Sejumlah pebisnis di Batam baru-baru ini menemui Menko Perekonomian Darmin Nasution, menyampaikan keresahan dan kekhawatirannya mengenai rencana pemerintah membangun Terusan Kra di Thailand.
Menurut Ketua Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Batam, Daniel Burhanudin, terusan yang rencananya akan dibangun di Jazirah Kra, Thailand, tersebut akan menghemat waktu dan biaya perjalanan kapal dari belahan dunia barat menuju wilayah Cina. Sehingga kapal-kapal dari Eropa dan dunia barat tak perlu lagi melewati Selat Malaka.
“Kami bersama pelaku usaha sector maritime lain di Batam sudah menyampaikan hal ini kepada Menko Perekonomian Pak Darmin Nasution di Jakarta belum lama ini,” katanya kepada pers di Jakarta.
Jalur baru Kra ini akan mempermudah kapal dari Laut Cina Selatan menuju Samudera Hindia tanpa melewati Selat Malaka. Tidak hanya membangun terusan, Negeri Tirai Bambu ini juga akan membangun fasilitas pelabuhan, gudang dan segala infrastruktur pendukung di Thailand. Pada akhirnya, pengaruh Cina akan sangat besar di Asia Tenggara.
“Dengan melewati terusan baru ini, kapal-kapal dagang tak lagi melewati Singapura, Semenanjung Malaysia, dan juga Indonesia di sekitar Kepulauan Riau. Mereka akan menghemat waktu hingga 72 jam,” ujarnya.
Sebagaimana dilansir Washington Post, bahwa Pemerintah Cina, berencana membangun kanal atau terusan di Tanah Genting Kra atau Kra Isthmus senilai 28 miliar dolar AS. Jika pembangunan Terusan Kra terealisasi, maka Selat Malaka hanya akan dilewati sedikit kapal-kapal internasional. Itupun akan didominasi kapal yang membawa barang-barang ke Indonesia.
Sebab itu, tidak hanya Batam yang khawatir, pemerintah Singapura juga ketar-ketir. Jika kanal ini dibangun, pelabuhan Singapura akan kehilangan pasar. Padahal pendapatan industri maritim negara ini mencapai 7 persen pada 2014. Sementara Indonesia sendiri belum berencana mengantisipasi adanya rencana ini. Bahkan Indonesia bersama Malaysia dan Singapura sudah sepakat dalam pengelolaan perairan di Selat Malaka.
Menurut Daniel, pemerintah harus menyiapkan antisipasi dampak pembangunan Terusan Kra terhadap ekonomi Indonesia, terutama Batam. Daniel mengingatkan kasus Evergreen yang batal berinvestasi membangun pelabuhan kontainer di Batam karena dibajak Singapura. Juga CMA-CGM yang dulu pun batal masuk ke Batam berinvestasi. Saat itu, pemerintah bahkan tidak berupaya supaya Evergreen tidak membatalkan rencana investasi itu.
“Ada masalah di Batam. Selama ini saya belum lihat adanya kebijakan yang benar-benar ingin mengembangkan investasi dunia maritim di Batam,” katanya lagi.
Malahan belakangan muncul keluhan dari pelayaran, yang konon peraturan yang dikeluarkan oleh BP Batam sangat memberatkannya.
Daniel mengambil contoh pengembangan pelabuhan alih kapal atau transhipment di Batam yang hanya sebatas wacana dan retorika yang hingga sekarang tak pernah kesampaian. Padahal, seharusnya Batam menjadi pusat pelabuhan transhipment karena posisinya di jalur pelayaran paling sibuk di dunia, Selat Malaka.
Akibatnya, banyak kapal yang memindahkan aktivitasnya ke Johor atau ke Karimun. Karena regulasi yang tidak pasti dan tingkat kenyamanan yang berbeda.
Sekretaris DPC INSA Batam Suparno juga menyatakan bahwa usaha pelayaran di Batam saat ini pun resah karena kebijakan pengelola pelabuhan (BP Batam) yang tak kompromi. “Mereka sering mengeluarkan kebijakan yang memberatkan pelayaran maupun lainnya,” katanya dibenarkan Ketua DPC INSA Makassar Hamka. (BP/***)