Pemerintah (Kemenhub) diminta agar menghilangkan subsidi BBM terhadap semua jenis pelayaran penumpang dan Ro-Ro, disamakan seperti kebijakan kapal niaga, agar terjadi keadilan dalam persaingan, serta factor biaya yang sama.
Sebab, selama ini kapal-kapal niaga swasta, terutama anggota INSA tak pernah ada lagi diberikan subsidi.
Selain itu, pelayaran swasta juga minta supaya pemerintah meniadakan PPN untuk bunker maupun pajak pertambahan (pajak daerah), karena freight kapal tidak kena PPN, dan di luar negeri pun tidak dikenai PPN. Dengan demikian pelayaran nasional akan dapat bersaing dengan kapal-kapal asing.
Namun, untuk meniadakan subsidi sudah pasti banyak pelayaran yang kontra, terutama mereka yang selama ini sudah menikmatinya. Tetapi, tidak ada salahnya jika pemerintah mencobanya menghilangkan subsidi tersebut.
Soenarto, Dirut PT Gurita Lintas Samudera dan Faty Khusumo, Dirut PT Temas Line menyatakan hal itu kepada Ocean Week secara terpisah, Minggu (2/4) sore.
“Pelayaran nasional anggota INSA mengusulkan kepada pemerintah supaya menghapuskan PPN untuk bunker dan pajak tambahan, karena freight kapal tidak kena PPN, dan di Singapura maupun luar negeri juga tidak dikenai PPN, supaya pelayaran nasional dapat bersaing dengan kapal-kapal asing,” tegas Soenarto.
Lagi pula, ungkap dia, mayoritas pelayaran anggota INSA sudah tak ada lagi yang memperoleh subsidi, kecuali kapal milik BUMN (Pelni) untuk penumpang dan barang, serta Ro-Ro.
“Tetapi untuk jenis Ro-Ro tidak semua kapal kepunyaan anggota INSA. Karena banyak yang di penyeberangan,” ujarnya lagi.
Hal sama pun dikemukakan Faty Khusumo. “Mengenai subsidi, kapal kita semua tidak dapat subsidi. Karena memang pelayaran tidak memerlukan subsidi. Sebab kapal termasuk alat dagang internasional. Selain pemantauan penggunaannya sulit dan mustahil, saya rasa juga tidak tidak perlu menambah beban pemerintah untuk itu,” ujarnya.
Kata Faty, kalau toh ada subsidi akan sangat sulit untuk dimonitor penggunaannya agar tidak disalahgunakan. “Hanya perlu diperlakukan fairness. Kalau swasta tidak pakai subsidi, alangkah lebih baik kapal-kapal Pelni, dan– RoRo juga tidak disubsidi, agar adil persaingannya, dan factor biayanya sama,” ungkapnya.
Lebih indah lagi, tuturnya, kalau pajak PPN-nya dihapuslan. “Keringanan pajak akan pelayaran sangat berguna. Diluar negeri begitu, dan berjalan baik, karena pelayaran termasuk industry yang menstimulasi internasional trade,” ucapnya.
Faty menambahkan, di dalam negeri, beli minyak praktiknya boleh dengan PPN atau tidak dengan PPN tergantung pembeli. Jadi bisa kebayang. Pengawasan juga sulit dan mustahil di Indonesia.
Pandangan dari kedua pelaku bisnis pelayaran nasional ini, kemungkinan karena kesan adanya ketidak-adilan dari pemerintah yang memberlakukan ‘anak emas’ kepada pelayaran BUMN, sebut saja Pelni.
Padahal pelayaran BUMN itu sudah mendapatkan PSO, masih lagi ditambah subsidi. Mestinya subsidi itu diperutukkan bagi kapal-kapal penumpang, tetapi sekarang kapal-kapal Pelni sudah banyak yang dimodifikasi menjadi kapal barang, apakah masih perlu subsidi.
Pastinya, kata Lukman Lajoni (Dirut PT Pelayaran Surya Bintang Timur), kalau pelayaran swasta harus bersaing dengan pelayaran BUMN yang serba diproteksi, akan tidak kuat.
Baik, Soenarto, Faty Khusumo, maupun Lukman Lajoni sekali lagi mengungkapkan bahwa pelayaran swasta tidak perlu ada subsidi. Namun, untuk keadilan, mestinya pemerintah juga meniadakan subsidi bagi kapal-kapal BUMN (Pelni) dan BUMN lainnya. Sehingga, persaingannya fair.
Jika hal itu dilakukan pemerintah, kemungkinan pemerintah tak perlu repot-repot menyiapkan rute-rute tol laut, karena sebenarnya selama ini, sudah banyak di rute-rute itu, kapal-kapal swasta sudah masuk.
Sangatlah bijaksana kalau pemerintah (Kemehub) memperhatikan keprihatinan para pebisnis pelayaran nasional tersebut, sebagai penggantinya, selain pemerintah meniadakan PPN-PPN tadi, juga tarif-tarif di pelabuhan diberikan keringanan bagi kapal-kapal yang melayari rute-rute wilayah Indonesia Timur maupun pelosok Nusantara.
Dengan demikian, cita-cita dan harapan pemerintah untuk cost logistic murah, serta disparitas harga barang diantara daerah-daerah di Indonesia tak ada lagi dapat terwujud.
Menanggapi mengenai disparitas harga, DR. Nofrisel, pengamat logistic yang juga Direktur Operasi dan Bisnis Development PT Bhanda Ghara Reksa menyatakan, Proporsi logistic cost dibandingkan final product cost itu berkisar antara 22%-24% yang meliputi biaya transport, warehousing dan inventory holding.
“Artinya itulah yang perlu dikelola dengan baik sehingga proses produksi sampai dengan distribusi finished product ke konsumen akhir itu dapat dikontrol dengan baik,” katanya kepada Ocean Week, Minggu sore.
Soal disparitas harga, ungkapnya, juga sangat dipengaruhi oleh tatakelola logistic yang efektif. Di samping itu, system perdagangan (term of trade)-nya juga turut mempengaruhi, termasuk perpajakan.
“Sampai hari ini kita belum sukses dalam mengendalikan disparitas karena kita belum memiliki pusat-pusat industry atau pusat-pusat produksi atau konsumsi yang memungkinkan bisa dikelola dengan mengaitkannya dengan system logistic nasional yang efektif. Dalam konteks ini saya merasa konsep tol laut masih relevan untuk dipertahankan,” kata Nofrisel. (***)