Direct Call yang sering didengung-dengungkan pemerintah melalui Tanjung Priok ke negara tujuan, ternyata belum sesuai harapan. Minggu (9/4) lalu saat kapal CMA CGM Titus berkapasitas 8.500 TEUs sandar di JICT, semua pihak terkait bersuka cita. Meski barang dari Jakarta yang tersedia hanya termuat sekitar 2.300 TEUs atau hanya 30% saja.
Dan kapal ini sebenarnya bukan merupakan kapal besar, sebab kapal ‘raksasa; di dunia shipping ada yang kapasitasnya mencapai 20.000 TEUs.
Konon, kapal terbesar perdana yang singgah di pelabuhan Priok ini tak langsung menuju negara tujuan, melainkan singgah dulu di Laem Chabang Thailand. Kalau benar demikian, artinya ada sedikit kekeliruan informasi yang disampaikan, karena kapal tetap transhipment, cuma tidak ke pelabuhan Singapura melainkan pindah tempat saja. “Yang penting tidak ke Singapura”, itu barangkali yang mau dicapai oleh Pelindo II, atau sama dengan perubahan pada era reformasi “Yang penting asal bukan Soeharto presidennya”.
Tetapi, sekali lagi, apakah para pemangku kepentingan di negeri ini sudah lupa, dan tidak mau belajar dari pengalaman terdahulu. Sudah banyak direct call yang dulu digadang-gadang sebagai sebuah keberhasilan, namun kandas. Misalnya, tahun 90-an pada era Menhub almarhum Haryanto Danutirto, kapal Djakarta Lloyd melakukan direct call ekspor dari pelabuhan Cirebon, hanya berlangsung sekali dan tak ada lagi sampai sekarang.
Lalu di tahun 2000-an dari TPK Koja, waktu itu satu kapal berkapasitas sekitar 5.000 TEUs yang diageni PT Bumi Laut Shipping. Karena barang yang tersedia tak lebih dari 30%, makanya direct call itu hanya berlangsung tak lama, dan akhirnya kandas.
Sekarang kapal CMA CGM yang tadinya didesign masuk ke NPCT1, ternyata pihak pelayaran Perancis ini lebih memilih ke JICT, terus tetap saja transhipment, meski bukan ke Singapura, namun ke Thailand, barang yang diangkut pun berkisar 20-30%.
Pertanyaannya, apakah ini yang dinamakan direct call ke negara tujuan, apakah ini pula yang ditengarai sebagai transhipment Jakarta. Kalau project ini akan dijadikan sebagai ‘pencintraan’, mestikah demikian caranya?. Jangan sampai hal ini akan mempermalukan sendiri para penguasa bersangkutan di negeri ini.
Jika mau diperbaiki, ini belum terlambat, sebab ada kesan pemaksaan. Meski semua kalangan usaha yang tergabung dalam ALFI, INSA, Aptrindo, Kadin Indonesia mendukung direct call, tetapi supporting ini jangan dijadikan sebagai added value bagi sekelompok orang yang berkepentingan. Yang terpenting lagi, kalau memang Indonesia (Jakarta) belum sanggup menjadi transhipment port, tak perlu memaksakan diri. Dan kalau Indonesia masih baru berkelas sebagai ‘pengumpan’ dalam aktivitas perdagangan, mestinya dicarikan solusinya, kenapa negara kita hanya bisa begitu.
Buang jauh-jauh pencintraan, masyarakat sudah sangat mengetahui, apalagi informasi sudah sangat canggih dan terbuka. Tetapi sekali lagi ini belum terlambat, bagaimana kita mampu mewujudkan Jakarta sebagai transhipment sungguhan, bukan transhipment ‘bayangan’.
Persoalannya sekarang, pentingkah kita mempertahankan istilah apakah itu direct call, atau transhipment Jakarta, karena ada yang lebih urgent dan mesti dipertahankan, yakni keberlangsungan kapal CMA CGM dengan kapasitas 8.000 TEUs tersebut bertahan dan terus ada. Sanggupkah?. (oceanweek)