Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Tanjung Priok mestinya lebih sejahtera dibandingkan dengan pelabuhan Belawan maupun Makassar, bahkan Tanjung Perak. Namun kenyataannya, TKBM di Priok yang pelabuhannya lebih besar dibandingkan ketiga pelabuhan itu, justru kondisi buruhnya lebih susah dibandingkan mereka (pelabuhan Perak, belawan dan Makassar).
Hal itu karena system kerjanya berbeda. “Jika di Belawan lebih banyak borongan, tapi di Priok menggunakan system alokasi,” ungkap Sekretaris Koperasi Karya Sejahtera TKBM Pelabuhan Tanjung Priok, Suparmin kepada Ocean Week, Senin (7/11) siang, di Jakarta.
Meski dari sisi kesejahteraan kalah dengan TKBM di Belawan, namun Parmin mengaku bersyukur, koperasi disini tak banyak masalah seperti di Belawan yang belakangan beberapa pengurusnya terkena masalah ‘Pungli’.
Dengan pola Alokasi, kesejahteraan buruh sangat bergantung pada banyak tidaknya kegiatan di perusahaan bongkar muat (PBM). “Kalau PBM banyak menangani kegiatan bongkar muat, otomatis TKBM-nya ikut banyak kegiatan, dan itu berpengaruh pada kesejahteraannya,” tutur Parmin.
Karena itu, Koperasi TKBM sebagai wadah mereka terus mencari solusi, salah satunya dengan menggunakan subsidi silang. Namun, untuk BPJS ketenagakerjaan, dan APD (alat pelindung diri), dan kesehatan, antara TKBM yang banyak kerja dengan yang kurang, kesejahteraannya sama saja.
Parmin juga mengaku kesulitan merasionalisasi TKBM yang jumlahnya tinggal 2.422 orang, dari sekitar 6.000 buruh di tahun 2003. “Jadi yang terkena pengurangan sudah banyak sekali sejak 2003 lalu. Sekarang mau rasionalisasi 100 orang lagi, namun susah, sudah 6 bulan baru dapat 55 orang,” jelas Parmin.
Bapak yang sudah berkecimpung di sector perburuhan di pelabuhan selama 40 tahun ini juga menyadari betapa sulitnya mengajak para buruh mengubah pola pikirnya, karena sekarang ini di era ASEAN, tenaga kerja dituntut memiliki sertifikasi profesi.
“Kami mesti terus meningkatkan SDM, namun sangat sulit. Misalnya tenaga ‘mandor’, meski tidak banyak bekerja di regunya, dia lebih memilih tetap menyandang gelar mandor dari pada turun jabatan sebagai buruh yang kerjaannya banyak. Itu karena ‘gengsi’ disebut mandor, dan itu prestise. Makanya disini sulit dilakukan penciutan regu,” ungkap Parmin.
Menurut Parmin, di Tanjung Priok masih ada TKBM yang usianya sudah memasuki 68 tahun, tapi belum mau berhenti. “Yang termuda juga ada usia 22 tahun,” uajrnya lagi.
Pada era ASEAN ini, ujarnya, tantangan paling berat koperasi adalah mewajibkan TKBM memiliki sertifikasi profesi. Bersyukur bahwa koparasi telah menggandeng Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) BMI pimpinan H. Sodik Harjono.
“Kami berharap bongkar muat di pelabuhan Priok lancer, sehingga tenaga kerja pun bisa sejahtera,” tuturnya.(***)