Pelabuhan Samarinda kini sudah menerapkan pemanduan kapal selama 24 jam dari tadinya hanya 12 jam. Hal itu dilakukan sejak tanggal 10 November 2016 lalu, menyusul kesepakatan antara INSA Samarinda dan stakeholders lain di pelabuhan.
“Secara umum pelayanan yang disajikan Pelindo sebagai operator sudah membaik. Namun ada masalah yang masih jadi kendala yaitu diberlakukannya PM 130 dan 135 tentang Pembagian DLKR dan DLKP khususnya di Samarinda dan Samboja sungai Mahakam,” kata Ketua DPC INSA Samarinda, Agus Sakhlan kepada Ocean Week, tadi pagi.
Menurut Agus, semenjak diberlakukan kebijakan PM 130 & 135 mulai Juni 2016, pelayaran agak diribetkan, makanya aturan tersebut tak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Akhirnya dalam praktik operasionalnya dilakukan kesepakatan – kesepakatan untuk mensiasatinya.
“Kami pelayaran harus membayar PNBP rambu dan PNBP lain pada satu alur pelayaran yang sama, sehingga membuat biaya operasional pelayaran menjadi tinggi,” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, Peraturan Menteri Perhubungan nomor 130 dan 135 tentang pembagian DLKR
dan DLKP khususnya di Samarinda dan Samboja/ Sungai Mahakam sudah diterapkan mulai Juni 2016 lalu. Seperti diketahui bahwa pembagian Daerah kerja antara Samarinda dan Samboja sebelumnya terbagi menjadi dua , dimana seluruh sungai Mahakam dan area deltanya masuk kedalam lingkup Samarinda dan area di selatan Delta Mahakam masuk dalam Daerah kerja Kuala Samboja.
Namun, Sejak diberlakukan PM 130 dan 135 dibulan Juni 2016 pembagian itu berubah dengan pemotongan sungai Mahakam menjadi dua bagian Wilayah kerja, Daerah diatas Dondang masuk kedalam wilayah Samarinda sementara dari Dondang keselatan dan terus ke laut masuk kedalam wilayah kerja Kuala Samboja.
Agus bercerita, konsekuensi dengan diberlakukannya aturan tersebut, apabila kapal berlayar dari pelabuhan pelabuhan kecil di selatan Dondang seperti TUKS Handil ke arah utara yang berjarak 5 mil atau ke area kerja milik Total E&P ( Perusahaan pengeboran milik negara) yang hanya berjarak 1
mil memerlukan Surat Persetujuan Berlayar dari Kanpel Kuala Samboja.
“Sebaliknya apabila kapal kapal tersebut berlayar dari Samarinda dan daerah kerja milik perusahaan pengeboran Total E&P tujuan Handil harus memiliki Surat Persetujuan Berlayar dari KSOP Samarinda,” jelasnya.
Ditjen Perhubungan Laut sudah menerbitkan surat perintah PP.30/6/20 DP-15 tertanggal 26 Oktober 2015 yang memerintahkan KSOP Samarinda dan Kanpel Kuala Samboja memberlakukan aturan itu dan juga memindahkan area Ship to Ship dari Muara Berau di utara ke Muara Jawa di Selatan.
Lalu ada Surat kedua yang dilayangkan oleh Dirpelpeng tertanggal 5 November 2015 yang menegaskan segera dilakukan pemindahan area Ship to Ship di daerah tersebut.” Berbagai penolakan dilakukan oleh pelaku usaha yang menggantungkan hidupnya dari Sungai Mahakam, tetap saja tidak bergeming,” ungkap Agus.
Gubernur Turun Tangan
Ketua INSA Samarinda juga menyatakan Gubernur Kalimantan Timur sudah melayangkan surat ke Menteri Perhubungan, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Koperasi/ UKM pada tanggal 16 Juni 2016 meminta Pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan tersebut di wilayah Kalimantan Timur.
AGus mempertanyakan, Kenapa Direktorat Perhubungan Laut begitu ngotot memerintahkan pemindahan area Ship to Ship dari Utara ke wilayah Selatan. “Kami sudah ada disana lebih dari 30 tahun,” ungkapnya.
Selain itu, hal yang cukup memberatkan adalah kapal kapal harus mengurus Surat Perintah Berlayar di Kanpel Kuala Samboja dan Samarinda berkali kali dalam sehari. “Tidak mungkin mengurus perizinan di Kuala Samboja/ Samarinda selanjutnya harus mengurus lagi dalam waktu 6 jam kemudian di pebuhan Samboja/ Samarinda setiap hari,” tutur Agus lagi.
karena itu, kemudian ada kesepakatan bahwa kapal yang memiliki base di selatan, jika berlayar ke utara hanya mengurus Izin Gerak dan begitu sebaliknya. “Kami minta supaya pemerintah (kemenhub) meninjau kembali peraturan ini, khawatirnya jika sampai terjadi insiden kecelakaan kapal siapa yang disalahkan dan bertanggung jawab,” kata Agus. (**)