Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto mengatakan, penyelenggaraan angkutan laut di Indonesia masih dihadapkan berbagai tantangan, apalagi dengan adanya Covid-19 menjadikan kinerja pelayaran semakin sulit.
Karena itu, kolaborasi antara pelayaran, pemerintah/OJK, dan perbankan perlu ditingkatkan guna menghadapi kondisi ini.
Carmelita menuturkan kolaborasi atau kerja sama yang bisa ditingkatkan salah satunya adalah mengenai restrukturisasi pinjaman bagi perusahaan pelayaran nasional.
“Melalui kerja sama ini, diharapkan dapat saling memberikan keuntungan dan bermanfaat bagi semua pihak,” kata Carmelita dalam Webinar bertema Restrukturisasi Perusahaan Pelayaran di Masa Pandemi Covid-19, Rabu (19/08).
Webinar yang diinisiasi oleh Bidang Pembiayaan dan Asuransi INSA ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai dampak Covid-19 bagi industri pelayaran nasional serta perlunya dukungan dari sisi moneter kepada pelayaran nasional di masa pandemi ini.
Wakil Ketua Umum VII INSA Faty Khusumo pada kesempatan tersebut menuturkan bagi perusahaan pelayaran kerja sama ini sangat dibutuhkan untuk modal usaha, dan modal operasional guna menjaga cash flow (arus kas) perusahaan-perusahaan pelayaran.
“Sehingga kinerja perusahaan pelayaran dapat normal kembali dan bisa melaksanakan kewajibannya dengan lancar kepada perbankan serta pemerintah,” ujar Faty.
Sebagai negara kepulauan, peran angkutan laut sangat penting dalam sistim konektivitas yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pemerataan pembangunan ekonomi serta kedaulatan suatu negara.
Angkutan laut juga merupakan infrastruktur untuk menjembatani kelancaran arus distribusi logistik dan perpindahan orang dari pulau satu ke pulau yang lainnya.
Melihat hal tersebut, sebaiknya skema pembiayaan pada angkutan laut mendapat perlakuan yang sama dengan skema pembiayaan infrastruktur, yang memiliki tenor atau waktu pengembalian berjangka panjang dan suku bunga yang kompetitif.
Sekarang ini, skema pembiayaan bagi angkutan laut masih berjangka waktu pendek dengan beban bunga yang cukup tinggi. Padahal angkutan laut merupakan sektor usaha yang padat modal dan padat karya dengan tingkat pengembalian investasi yang panjang.
Bersaing Kompetitif
Sementara itu, Ketua Yayasan INSA Manunggal yang juga Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia Theo Lekhatompesy mengungkapkan, kondisi pelayaran nasional saat ini persaingannya sudah sangat kompetitif, sehingga hal yang sangat dibutuhkan adalah pendanaan yang kompetitif bukannya investasi asing.
“Paling tidak berikan equal treatment sebagaimana negara lain memberdayakan industri pelayarannya. Dengan begitu industri pelayaran nasional bisa bersaing dengan pelayaran global,” katanya.
Menurutnya, stimulus dari pemerintah/OJK, dan perbankan memang diperlukan untuk melestarikan cabotage sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Pada Pasal 57 UU. No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran disebutkan bahwa pemberdayaan industri angkutan perairan nasional wajib dilakukan oleh pemerintah salah satunya dengan memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan.
Di masa pandemi Covid-19 ini, papar Theo, upaya yang dilakukan perusahaan pelayaran dalam jangka pendek adalah lebih memilih struktur pembiayaan dengan kredit modal kerja. Sedangkan dalam jangka panjang, perusahaan lebih memilih struktur pembiayaan dengan pembiayaan berjangka.
Dari hasil survey yang dilakukan INSA, lanjut Theo, sebanyak 62 persen perusahaan mengalami kesulitan memenuhi kewajiban kredit saat pandemi Covid-19. Kendala utama yang dihadapi adalah bayar bunga pinjaman dan bayar pokok pinjaman.
“Jenis relaksasi kredit yang paling dibutuhkan oleh perusahaan saat ini adalah penurunan suku bunga dan perpanjangan tenor,” ungkal Theo saat menjadi Narasumber di acara ini.
Pada kesempatan ini, INSA dan Myshipgo juga mengundang Vice President Middle Corporation Group 6 PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Ferdianto Munir sebagai narasumber.
Ferdianto Munir mengatakan, debitur jasa transportasi air di Bank Mandiri yang terdampak Covid-19 dan mengajukan surat permohonan restrukturisasi seluruhnya sudah difollow up dan telah mendapatkan keputusan restrukturisasi.
“Bank Mandiri untuk jasa transportasi air sekitar 25 persen dari portofolio shipping mengajukan permohonan restrukturisasi terkait Covid, dan semuanya sudah difollow up dan sudah medapatkan keputusan yang mana terkakhir di Bulan Juni,” ucapnya.
Dia menjelaskan, dalam melakukan restrukturisasi bank melakukan diagnosa root cause yang menyebabkan debitur kesulitan dalam memenuhi kewajiban bank.
Beberapa penyebab lazimnya di antara lain, yakni terjadinya musibah bencana, piutang yang tak tertagih, karakter debitur yang kurang baik, hingga penurunan omzet penjualan debitur karena sektor industri maritim.
Dia melanjutkan, syarat restrukturisasi minimal terpenuhi itikad debitur yang mendukung dan prospek usaha yang positif. “Apabila salah satu dari dua kriteria ini tidak terpenuhi, maka tidak bisa dilakukan restrukturisasi,” ujarnya.
Sedangkan Irwan Hardiyono yang mewakili Direktur Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa OJK M. Maulana menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 berpengaruh dan mengganggu kelangsungan usaha emiten-emiten yang bergerak di bidang pelayaran. Berdasarkan analisis emiten, perkiraan total pendapatan dan laba bersih mengalami penurunan rata-rata kurang dari 25 persen.
“Hal ini berdampak terhadap pembayaran kewajiban keuangan jangka pendek,” katanya.
Income Turun
Berdasarkan Laporan Keuangan Tengah Tahun (LKTT) per 30 Juni 2020 yang disampaikan oleh emiten menyebutkan operation income emiten rata-rata mengalami penurunan menjadi sekitar 70 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kemudian, laba bersih emiten rata-rata mengalami penurunan siginifikan sekitar 67 persen jika dibandingkan periode yang tahun sebelumnya.
Bahkan ada emiten yang mengalami penurunan laba bersih sekitar 3.700 persen. Adapun, terdapat beberapa emiten pelayaran yang terdampak positif atas Covid-19 dan mengalami peningkatakan laba bersih sebesar 120 persen.
Lalu, arus kas operasi emiten rata-rata mengalami peningkatan sekitar 30 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dia menyebutkan OJK telah mengeluarkan ketentuan yang dapat dimanfaatkan emiten untuk melakukan restrukturisasi. Ketentuan terkait restrukturisasi tersebut diantaranya PJOK Nomor 42/PJOK.04/2020 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan; PJOK Nomor 17/PJOK.04/2020 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha.
Selanjutnya POJK Nomor 14/POJK.04/2019 tentang Perubahan atas Peraturan OJK Nomor 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu; POJK Nomor 31/POJK.04/2020 tentang Keterbukaan atas Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik; dan POJK Nomor 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Material Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowd Funding (ECF)).
INSA dan Myshipgo turut mengundang Prof. Wihana Kirana Jaya Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Ekonomi dan Investasi Transportasi, serta Ferry Irawan Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Co Narasumber.
Beberapa stakeholder juga diundang sebagai peserta di dalam Webinar ini, diantaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, OJK, beberapa perbankan, asosiasi, perusahaan sekuritas, pelaku usaha dan akademisi. (***)