Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) bekerjasama dengan Indonesian National SHipowners Association (INSA) menggelar Workshop Pengendalian dan Manajemen Air Ballas dan Sedimen Kapal pada 31 Maret 2017, bertempat di Hotel Alila Jakarta.
Kegiatan itu dibuka Direktur Perkapalan dan Kepelautan Capt. Rudiana mewakili Dirjen Laut Tonny Budiono.
Pada kesempatan itu, Capt, Rudiana, MM mengatakan bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. “Setiap negara juga mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya sesuai dengan kewajibannya melindungi dan melestarikan lingkungan laut,” katanya.
Menurut Rudiana, Pengendalian dan manajemen air ballast dan sedimen dari kapal merupakan suatu upaya mencegah penyebaran spesies asing yang bersifat invasive atau seringkali dikenal dengan sebagai organisme dan pathogen akuatik yang berbahaya.
Konvensi internasional untuk pengedalian dan manajaemen air ballas dan sedimen dari kapal 2004 menyatakan bahwa organisme dan pathogen akuatik yang berbahaya adalah organisme atau pathogen akuatik yang apabila dilepaskan di air laut termasuk estuary atau ke dalam air tawar dapat menyebabkan bahaya terhadap lingkungan kesehatan manusia, property atau sumber daya, merusak keanakaragaman hayati atau mengganngu pemanfaan yang sah terhadap suatu area.
Dalam sambutan tertulisnya, Dirjen Perla Tonny Budiono mengungkapkan, Air ballas berperan penting menjaga keseimbangan kapal. Ketika air ballas dibuang di suatu area, organisme dan pathogen yang ada didalam air ballas tersebut juga ikut terbawa masuk kedalam air laut di tempat tersebut.
“Organisme yang ada ditempat air ballas dibuang dikenal sebagai spesies asing. Beberapa studi menunjukkan bahwa spesies asing tersebut dapat menjadi spesies asing yang bersifat invasive dan mengakibatkan gangguan terhadap spesies local atau terhadap keseimbangan ekosistem di area tersebut,” ungkap Dirjen Tonny.
Sebagai negara kepulauan yang besar, Indonesia dikelilingi oleh laut yang luas dengan ekosistem laut yang bervariasi serta mempunyai keaneka ragaman hayati yang bernilai tinggi, baik dalam nilai ilmu pengetahuan maupun nilai ekonomi. Ekosistem sungai, pesisir dan laut Indonesia sangat produktif dan menjadi tumpuhan kehidupan sebagaian besar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ekosistem laut Indonesia harus dilindungi dari kemungkinan terjadinya perubahan akibat organisme dan pathogen akuatik yang berbahaya dan merugikan. Berbagai ekosistem laut yang ada, diantaranya ekosistem pesisir dan laut dangkal, ekosistem terumbu karang, ekosistem laut dalam dan eksistem spesifik pada teluk tertentu telah menjadi habitat berbagai organisme dan biota yang bersifat endemic termasuk ikan, kerang, udang, teripang, siput laut, biota karang dan lain-lain dengan keanekaragaman yang sangat tinggi.
Lautan Indonesia memiliki variasi biota karang, terutama di kawasan yang dikenal sebagai Kawasan Segitiga Karang (Coral Triangle) yang meliputi kawasan timur Indonesia, Malaysia, Filippina, Papua New Guinea, Timor Leste dan Kepulauan Solomon. Kawasan ini merupakan kawasan dengan kehidupan laut terkaya di dunia dengan lebih dari enam ratus jenis karang dari tiga ribu jenis ikan yang menopang kehidupan dan keamanan pangan untuk 120 juta penduduk yang hidup di kawasan ini serta memiliki nilai ekonomi lebih dari 2,3 milliar dollar amerika per tahun.
Ekosistem perairan Indonesia rentan terhadap pengaruh dari luar, termasuk pengaruh negative organisme dan pathogen akuatik yang berbahaya. Mengingat pemanfaatan laut yang begitu luas, kondisi perairan Indonesia harus di lindungi dari kemungkinan perubahan yang merugikan. Salah satu aspek yang perlu diatur adalah manajemen air ballas dari kapal yang berpotensi membawa organisme dan patogen akuatik berbahaya, baik dari kapal berbendera asing yang singgah di pelabuhan Indonesia atau melintasi perairan Indonesia dan melakukan pelayaran internasional.
“Kekayaan sumber daya hayati di perairan Indonesia harus dilindungi dan dijaga dari masuknya spesies asing yang invasive dan membahayakan lingkungan laut Indonesia,” ujar Dirjen Laut.
Pemberlakuan Konvensi Internasional untuk pengendalian dan manejemen air ballas dan sedimen dari kapal 2004 , di Indonesia akan berdampak tidak hanya bagi pemerintah Indonesia sebagai regulator, tetapi juga kepada industry pelayaran dan industry penunjangnya.
“Saya optimis bahwa kerjasama yang efektif dan berkesinambungan di berbagai bidang yang berkaitan dengan pelaksanaan konvensi ini akan bermanfaat bagi Indonesia,” tuturnya. (humla/**)