Dirjen Perhubungan Agus H. Purnomo mengaku prihatin dengan kondisi galangan kapal nasional yang mayoritas kolaps. Karena itu, dia menghimbau supaya pengusaha kapal yang tergabung di INSA untuk menghidupkan galangan kapal di negeri ini.
“Tolong galangan kapal Indonesia dihidupkan oleh INSA. Galangan di Indonesia ini jumlahnya ratusan, semua hampir mati suri,” kata Agus saat membuka diskusi mengenai PM 7 tahun 2019, di Jakarta, Selasa (6/8).
Dirjen Agus Purnomo meminta kepada INSA agar menghimbau anggotanya, jika membangun kapal supaya dilakukan di galangan kapal nasional. “Kalau tidak membangun kapal baru, ya setidaknya untuk perbaikan rutin (docking) dilakukan di galangan sini (domestik),” ungkapnya lagi.
Menurut Agus, Kemenhub juga sudah meminta agar pengangkutan minyak dan LNG menggunakan tanker-tanker yang dibangun di dalam negeri. Demikian pula dengan fasilitas penyimpanan dan pengolahan LNG, agar menggunakan floating storage and regasification unit (RSFU) buatan lokal.
“Permintaan itu sudah disampaikan kepada SKK Migas dan Pertamina, kami sudah berkirim surat. INSA harus siap-siap, supaya kapal-kapal itu jangan asing. Sekarang hampir seluruhnya asing. Itu kan hanya floating storage. Kenapa enggak dibuat di Indonesia,” kata Agus sembari bertanya.

Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim mengatakan hampir semua pelayaran Merah Putih sudah melaksanakan perbaikan dock di galangan dalam negeri.
“Bukan kami nggak mau dengan docking disini. Pelayaran ada kalanya menemui kendala berupa pelaksanaan docking yang lambat, yakni hingga 1,5 bulan. Jika docking di Singapura misalnya, selesai dalam tujuh hari,” ujarnya.
Masalah lainnya, ketidaksiapan tenaga ahli khusus bidang permesinan dan kelistrikan membuat galangan nasional kurang kompetitif. Belum lagi koordinasi perencanaan yang tidak konsisten karena kerja sama di lapangan yang tidak baik.
“Sehingga, pengusaha mengalami lost of time dan opportunity loss yang sangat besar, plus beban biaya yang tinggi karena lamanya pelaksanaan dock. Jadi, double impact,” ungkap Budhi.

Sedangkan pengamat galangan kapal nasional Tjahjono Roesdianto menyatakan bahwa order kapal baru dari pelayaran nasional masih minim, penyebabnya ada beberapa hal, pertama karena kondisi perekonomian nasional yang membuat daya beli mereka (pengusaha pelayaran) menurun (tidak mampu beli kapal baru). Kedua, karena adanya aturan ijin impor kapal tidak baru sebagai barang modal.
“Lalu kalau ada order baru sebatas tug and barge, itupun kebanyakan untuk armada milik sendiri, dimana galangan itu milik grup pelayaran,” katanya.
Menurut mantan dirut Galangan Dok Kodja Bahari ini, keengganan membeli di dalam negeri disebabkan masih mahal dan lambat. “Untuk kapal bermesin, masih tergantung komponen impor. Kemudian aturannya tumpang tindih terutama soal perpajakan dan pendanaan atau pembiayaan yang buat mahal dibandingkan dengan impor kapal jadi, baik baru atau bekas. Masih trade oriented bukan industry oriented,” ungkap Tjahjono. (***)