Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Perhimpunan Pusat Logistik Berikat Indonesia (PPLBI) menginginkan pusat logistik berikat (PLB) Indonesia menjadi hub logistik berikat di Asia Pasifik seperti PLB di Shenzen, Cina.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi menyatakan, untuk dapat setara dengan Cina, waktu timbun barang di pelabuhan Indonesia harus turun signifikan dari yang ada saat ini.
“Waktu timbun barang pada pelabuhan di Shenzhen hanya 90 hari. Ini artinya, untuk bisa setara dengan Shenzhen maka waktu timbun barang di pelabuhan domestik harus dipangkas hingga 92 persen,” kata Heru, di Jakarta.
Meski begitu, ungkapnya, ada beberapa upaya yang sudah dilakukannya untuk dapat meningkatkan layanan PLB di Indonesia, antara lain pemeriksaan surveyor tidak lagi harus di luar negeri. Selain itu, pembangunan instalasi karantina di dalam PLB. Upaya ini diharapkan bisa memangkas biaya dan waktu pengeluaran barang dari pelabuhan (dwelling time).
“Kalau survei di luar negeri biayanya bisa sampai Rp 8 juta per satu komoditas, kalau di dalam negeri hanya Rp 5 juta. Ini keuntungan dari segi biaya dan waktu,” ujar Heru.
Saat ini, Heru mengaku mengaku tengah menyelesaikan skema penerbitan delivery order (pesan antar) secara online. Selain itu, percepatan mekanisme certificate of origin (CoO) dengan skema back to back.
“Ke depan, DJBC menargetkan PLB bisa menimbun produk akhir (end product), dan di Indonesia belum bisa,” ucapnya lagi.
Seperti diketahhui bahwa sekarang ini, jumlah pusat logistik berikat dari 12 menjadi 34 di 42 lokasi. Pusat logistik itu sudah didukung oleh 20 supplier internasional, 34 distributor internasional, dan 97 distributor lokal. Sedangkan jangka waktu antara pesanan pelanggan dan pengiriman produk akhir rata-ratanya 1,8 hari dalam setahun ini.
Dengan peningkatan ini, Heru berharap cost logistik dapat turun. “Biaya logistik kita (Indonesia) jauh lebih tinggi dibanding Singapura yang hanya 8 persen, Jepang 9 persen, Korea Selatan 13 persen, dan Malaysia 14 persen,” jelasnya. (***)