Isu hub port dan transshipment port kembali menghangat dibicarakan kalangan usaha shipping maupun kepelabuhanan, termasuk pemerintah di Indonesia. Apalagi sejak kedatangan kapan ‘raksasa’ CMA-CGM di JICT Tanjung Priok yang pada 9 April lalu resmi pelayaran perdana oleh Menhub Budi Karya Sumadi.
Bahkan hal ini juga sangat menjadi perhatian dan konsen Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di setiap kesempatan kemaritiman selalu menyinggung mengenai hub port, dwelling time, maupun tol laut.
Sebenarnya Indonesia meributkan hub port dan transshipment port dari era Orde Baru itu untuk kepentingan siapa. Apa untung tidaknya jika pelabuhan Indonesia menjadi hub port atau tidak. Karena jika membicarakan ini, tentunya kita tidak bisa melepaskan MLO.
Singapura dan Malaysia mampu mewujudkan dirinya sebagai transshipment hub internasional karena mampu menggandeng dan meyakinkan MLO untuk bekerjasama.
Jika Indonesia sekarang mampu menghadirkan kapal besar direct Tanjung Priok-Los Angeles Amerika, bukan berarti Indonesia sudah mampu menyaingi kedua Negara tadi.
Presiden Joko Widodo yang terus menerus mendorong terealisasinya ini memang perlu didukung oleh semua pihak. Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah pelabuhan mana yang sebenarnya layak sebagai hub atau transshipment, Tanjung Priok ataukah Kuala Tanjung.
Sebab untuk menjadi hub atau transshipment tidak cukup hanya dengan slogan saja. Menurut Asmari Herry, Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Bidang Perhubungan, dibutuhkan total effort lintas instansi, sekaligus merubah mindset, karena strategi hub transshipment internasional sebagaimana yang digadang-gadang pemerintah sangat berbeda dengan pelabuhan internasional Tanjung Priok.
“Ada yang perlu diluruskan, hub internasional itu ada ketersediaan barang ekspor maupun tujuan impor, sedangkan hub transshipment itu lebih cenderung pada jumlah volumenya, maksudnya volume barang yang dihandle tak ada hubungannya dengan pelabuhan tersebut, jadi hanya mampir saja. Bisnisnya pyur adalah delivering the expectation of global carrier, diperlukan sentuhan dan pendekatan serta flexibility yang berbeda dengan apa yang kita lakukan selama ini,” kata Asmari kepada Ocean Week, di Jakarta.
Kalau memang niatnya ingin menjadikan hub transhipment internasional, menurut Aulia Febri (Ketua Umum Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Swasta Indonesia) maka persiapannya mesti dilakukan dari awal, bisnis modelnya harus ditentukan jangan ditengah-tengah berubah lagi. “Memang butuh effort keras, tapi nothing impossible right,” ungkapnya.
Potensi Indonesia yang besar, sebenarnya mampu untuk menuju kepada konsep itu, namun lagi-lagi maukah kita menuju kesana. Pastinya Singapura dan Malaysia tidak akan diam. Mengingat Singapura boleh dibilang hidupnya dari sana. Jangan-jangan, sebagaimana dikatakan Asmari, pelabuhan Priok atau Kuala Tanjung nantinya hanya sebagai ‘spoke’ untuk menunjang ekspor impor saja. “Kalau mau naik kelas jadi hub transshipment internasional, strategi dan pendekatannya berbeda, bias nggak kita,” tanya direktur Samudera Indonesia Shipping ini.
Sebagai hub transshipment internasional seperti PSA Singapura dan Malaysia (Tanjung Pelepas), barang-barang (container) yang diangkut kapal tidak ada hubungannya dengan pelabuhan tersebut. Namun, Tanjung Priok, Belawan, Makassar, Tanjung Perak, atau nantinya Kuala Tanjung merupakan destination (pelabuhan tujuan) dari kegiatan ekspor-impor.
Terlepas dari teori dan konsep itu, kita patut apresiasi positif niat dan keinginan Presiden Jokowi untuk menjadikan pelabuhan Indonesia sebagai pusat konsolidasi barang. Bagaimana cara mewujudkannya, mestinya itu menjadi tugas para menteri terkait untuk bisa memikirannya. Sebab semua kalangan di sector angkutan laut dan kepelabuhanan tahu kalau menjadikan pelabuhan Indonesia hub atau tramshipment sudah menjadi cita-cita dari puluhan tahun lalu.
Sering dicoba, tapi gagal, gagal dan selalu gagal. Tapi kali ini, dengan masuknya kapal CMA-CGM direct Tanung Priok-Los Angeles Amerika penting kita jaga keberlangsungannya, dan janganlah puas dengan hanya kedatangan kapal besar saja. Namun, kita akan lebih bahagia lagi jika kapal-kapal besar itu disiapkan sendiri dan dimiliki oleh Indonesia, bukan perusahaan asing. (**)