Gapasdap mengaku prihatin, pemerintah (Kemenhub) belum juga menaikkan tarif angkutan penyeberangan antar propinsi, meskipun dirjen perhubungan darat sebenarnya sudah setuju penyesuaian tarif tersebut dan diberlakukan mulai 16 Oktober 2019 lalu.
“Waktu tanggal 8 oktober Pak Dirjen darat (Budi) dan direktut TSDP sudah melakukan uji publik atas penyesuaian tarif angkutan penyeberangan antar propinsi dan perubahan KM 58 tahun 2003 tentang formulasi tarif, penyesuaian tarif angkutan sudah disetujui oleh pak direktur TSDP dan dirjen darat sebesar 28 persen dibagi dalam 3 tahapan kenaikan, tahun 2019 sebesar 10 persen , tahun 2020 sebesar 10 persen dan tahun 2021 sebesar 8 persen, yang mulai berlaku pada tanggal 16 Oktober 2019,” kata Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo, didampingi Aminuddin, Sekjen saat dihubungi Ocean Week, Minggu siang.
Menurut dia, Kementerian Perhubungan menargetkan kenaikan tarif penyeberangan paling lambat dilakukan pada akhir Oktober 2019.
“Semua proses penyesuaian sudah di lakukan dari biro perencanaan, biro hukum sampai sekretaris jenderal,” ungkapnya.
Tapi, ujarnya, keduanya menyatakan prihatin karena sampai hari ini belum ada kejelasan dari Kemenhub. “Padahal publik sudah tau atas statemen nya pak dirjen,” katanya lagi.
Makanya, Gapasdap mendesak supaya Kemenhub konsisten terhadap keputusan yang sudah diberikan dan dituangkan dalam peraturan.
Aminuddin menambahkan, surat permohonan penyesuaian tarif dari gapasdap sudah 2 kali di layangkan sejak bulan september 2018 dan bulan mei 2019.
“Sudah 2,7 tahun tarif angkutan penyeberangan belum ada penyesuaian atau kenaikan,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menjelaskan bahwa saat ini regulasi pengganti tarif dan formulasi tarif penyeberangan sudah berada di tangan Menteri Perhubungan.
Dari sisi waktu, paling lambat penyesuaian tarif tersebut akan dilakukan pada akhir Oktober ini.
“Kami naikkan dari sisi angkanya 2,5 tahun tidak naik, dari sisi operasional yang lain kita lihat, yang Ketapang—Gilimanuk itu Rp6.500 terlalu murah. Sekarang dipotong kepelabuhan, paling sampai operator Rp2.800, itu murah sekali,” katanya, kepada wartawan.
Padahal, ujarnya, aspek keselamatan harus diutamakan dan kelangsungannya sangat bergantung pada tarif yang berpengaruh terhadap performa penyeberangan.
Dia menuturkan bahwa kenaikan tarif berkisar 28 persen tersebut sudah cukup memberatkan sehingga pemerintah tidak mengikuti permintaan Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) yang menginginkan kenaikan hingga 38 persen.
“Memang ada perbedaan dengan permintaan Gapasdap yang mintanya 38 persen, saya ada pertimbangan lain,” jelasnya.
Budi akan menyampaikan pada pimpinannya dua versi kenaikan tarif tersebut. Adapun kenaikannya dilakukan bertahap, selama 3 tahun.
Gapasdap mengaku berdarah-darah jika tarif penyeberangan tidak dinaikan. Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo menuturkan bahwa saat ini kondisi kapal-kapal penyeberangan sangat parah karena penghasilannya tidak sesuai dengan pengeluarannya.
“PM kenaikan tarifnya yang menggantikan PM 30 Mei 2017 masih tertahan di meja Menhub. Padahal sudah 2,5 tahun anggota kami menunggu sudah mulai bergelimpangan,” terangnya.
Dia mengaku sangat khawatir kalau ini ditunda terus kondisi sangat mengkhawatirkan dan mengancam keselamatan pelayaran.
Menurutnya, sudah ada empat operator yang melego perusahaannya karena kondisi tarif yang mencekik para operator tersebut.
Dari sisi usaha, terangnya, kondisi layanan penyeberangan laut juga tidak kondusif karena jumlah dermaga dan jumlah kapal tidak seimbang. Jumlah kapal terus bertambah sehingga setiap kapal hanya bisa beroperasi beberapa hari dalam setiap bulan.
“Kapal kami sebulan hanya 11—12 hari per bulan beroperasinya menuju ke 8 hari, meski moratorium perizinan, makin banyak kapal tidak karuan,” jelasnya. (bi/ow/**)