Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) memaksa banyak industri galangan kapal nasional meminta renegosiasi atas kontrak-kontrak pembangunan kapal yang digarapnya.
Sebab, jika tidak dilakukan perjanjian kontrak ulang, perusahaan galangan kapal dapat mengalami kerugian sangat besar. Karena itu, pelaku usaha sektor industri galangan kapal berharap pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap US dolar dalam jangka panjang, supaya industri dok kapal tidak mengalami kerugian.
“Kami berharap pemerintah dan BI bisa menjaga nilai tukar rupiah atas dolar AS. Stabil saja yang long term, itu sudah cukup,” kata M. Azis, Ketua Bidang Kerjasama dan Promosi Iperindo (asosiasi galangan kapal indonesia) saat dimitai komentarnya oleh Ocean Week sehubungan dengan banyaknya usaha galangan kapal terpuruk akibat melemahnya nilai rupiah atas dolar AS.
Menurut Dirut PT Terafulk Ship Design tersebut, saat ini perusahaannya juga mengalami hal itu. “Saya juga nggak bisa apa-apa. Saya kontrak dengan Medco untuk supply program stability NAPA, kontrak akhir tahun 2017 lalu, dan proyek finish barusan. Tapi Medco tidak mau kontrak dalam bentuk Euro atau dolar AS, karena rupiah melemah akhirnya kami yang menanggung kerugian. Dan itu kemungkinan juga dirasakan oleh teman-teman di industri galangan yang lain,” jelas Azis panjang lebar, Kamis pagi ini (26/7).
Azis juga mengakui dengan melemahnya rupiah atas dolar AS yang mencapai rp 14 ribu lebih, pasti usaha galangan merugi. “Makanya saya minta renegosiasi dengan Medco, tapi tidak berhasil. AKhirnya negosiasi dengan vendor NAPA, lumayan dapat potongan ongkos kirim, jadinya proyek hanya BEP. Biaya tenaga kerja (installer dan trainer) diabaikan, jadinya serba sulit,” ungkapnya lagi.
Azis juga mencontohkan pengalamannya bahwa kontrak yang sudah diperolehnya untuk design dengan galangan dan sedang berjalan terpaksa dinego lagi. “Kata mereka supaya mengurangi kerugian gara-gara nilai tukar rupiah. Saya terpaksa menurunkan nilai kontrak,” ucapnya.
Meski begitu, Azis menyatakan the show must go on. “Namun saya percaya ini akan berakhir,” kata Azis.
Sementara itu, Cahyono, pengamat industri galangan kapal nasional, menyatakan kurs dollar memang berpengaruh di pembelian barang dan bahan apalagi yang impor.
“Pengaruh yang terasa sekarang adalah harga baja, bukan hanya untuk pembangunan kapal baru saja, tapi juga untuk reparasi kapal. Untuk proyek2 kapal baru yang sekarang di bangun sih rata2 progressnya sudah di atas 80 % jadi semua pembelian barang dan bahan sudah dilakukan sebelum kurs seperti sekarang. Tapi untuk next project klu harganya tidak di sesuaikan ya pasti merugi,” katanya kepada Ocean Week pagi ini.
Solusinya memang mesti diperhitubgan harga dan waktu pembangunan untuk next project kapal baru, untukk kapal reparasi rasanya para pelaku sudah pernah ngalami saat resesi ekonomi dulu, jadi lebih mudah penyesuaiannya,” ungkapnya.
Sedangkan Direktur Utama PT Krakatau Shipyard Askan Naim mengatakan, sekitar 60% hingga 65% komponen pembuatan kapal merupakan barang impor. Ketika terjadi fluktuasi kurs, maka dampaknya luar biasa terhadap perusahaan galangan.
Agar tidak menggerus pendapatan perusahaan, Askan mengungkapkan Krakatau Shipyard misalnya, terpaksa melakukan penyesuaian harga produk. Hal ini lantaran biaya produksi terus meningkat akibat menguatnya dollar AS. Langkah ini sebagai salah satu strategi perusahaan mengambil margin keuntungan.
Berhubung proses pembuatan kapal bisa berlangsung satu hingga dua tahun, Askan menjelaskan, pembelian kapal juga harus dibuat fleksibel mengikuti kurs rupiah terhadap dollar AS. Atas dasar itu, manajemen Krakatau Shipyard selama ini memberlakukan sistem kontrak, yang mana harga kapal bisa sewaktu-waktu berubah mengikuti kurs. Sejauh ini rata-rata para pemesan kapal mengerti, ungkap Askan.
Cuma, agak merepotkan jika pemesan kapal berasal dari pemerintah. Proses penyesuaian harga kerap terhambat. Maklum, pengawasan anggaran pemerintah sangat ketat. Askan mengakui, perusahaannya sudah menaikkan harga kapal sebesar 10% sebagai dampak koreksi rupiah. (ow/**)