Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution mengundang pelaku usaha bidang lgistik antara lain INSA, ALFI, Aptrindo, APBMI untuk dimintai masukannya dalam rangka untuk menyusun grand design sistem logistik nasional.
“Grand design ini tidak hanya mengoptimalkan pembangunan infrastruktur fisik yang terintegrasi, tetapi juga akan mengoptimalkan aspek digital agar mampu bersaing di era Revolusi 4.0. Selama ini pemerintah berusaha memperbaiki kondisi logistik dengan membangun infrastruktur untuk menghilangkan hambatan yang menjadi masalah ekonomi kita. Sistem logistik yang baik diperlukan untuk mengembangkan sektor industri agar menghasilkan efisiensi,” kata Menko Darmin Nasution kepada pers, di Kantornya, Rabu (6/2) usai melakukan acara dialog dengan para pelaku usaha di sektor logistik.
Menko Darmin menyatakan bahwa upaya peningkatan efisiensi logistik merupakan bagian dari kebijakan peningkatan ekspor jangka pendek yang sedang dirumuskan pemerintah. Beberapa hal yang menurut Menko Darmin akan diatur untuk mendorong efisiensi logistik yakni penerapan sistem Delivery Order (DO) Online, sistem InaPortNet, relaksasi prosedur ekspor otomotif dan pembangunan otomotif center.
Sementara itu, Indonesia National Shipowner Association (INSA) saat dialog dengan Menko menanggapi positive terhadap pemberian keringanan tarif jasa kepelabuhanan untuk kapal tol laut. “Kami mengharapkan untuk pelabuhan-pelabuhan lain dan kapal-kapal non tol laut juga mendapatkan keringanan jasa kepelabuhanan. Setidaknya janganlah operator kapal dibebani biaya-biaya lain yang tidak jelas dirasakan manfaatnya bagi pengguna jasa,” kata Carmelita Hartoto, Ketua Umum DPP INSA kepada Ocean Week, Rabu sore.
Carmelita juga mengungkapkan, dalam usaha menurunkan biaya logistik, Operator kapal mengharapkan setiap biaya yang dibebankan dalam jasa kepelabuhanan adalah terukur dan memberikan nilai tambah.

“Kalau kita concern untuk membuat biaya logistik menjadi efficient, hendaknya masing-masing penanggung jawab mata rantai secara serius membuat post tanggung jawabnya itu efficient. Selama ini yang nampak dan selalu menjadi sebab naiknya harga barang dituduhkan karena feight yang mahal. Padahal freight hanyalah salah satu dari mata rantai rangkaian biaya logistik,” ungkapnya.
Menurut dia, selama ini pelayaran selalu dijadikan kambing hitam dan dikorbankan dalam masalah high cost logistik. “Pelayaran adalah lokomotif dari rangkaian rantai logistik di negara kepulauan ini. Kalau lokomotifnya hancur, maka rantai penunjang lainnya pun menjadi hancur,” katanya.
Isu Sistem Logistik
Dalam acara dialog antara Menko Perekonomian dengan pelaku usaha di sektor logistik, dibahas isu-isu penting terkait sistem logistik nasional yang diklasifikan berdasarkan waktu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Selain itu, dibahas pula mengenai kepelabuhan laut, bandar udara, jasa angkutan laut, dan Pusat Logistik Berikat, logistik pangan, sumber daya manusia (SDM), portal Indonesia National Single Window (INSW), dan logistik kebencanaan.
Hadir pada kesempatan itu, antara lain Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Politik, Hukum dan Keamanan Elen Setiadi, Kepala BP Batam Edy Putra Irawady, Ketua Indonesian National Shipowners Asosiation (INSA) Carmelita Hartoto, Ketua Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) Muhammad Feriadi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan, Ketua Umum ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi, Ketua Umum Asdeki H. Muslan, dan sebagainya.
Seperti diketahui, upaya memperbaiki sistem logistik di Indonesia sebenarnya sudah sejak diterbitkannya Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Sistem Logistik Nasional, sebagai panduan bagi Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah dalam membangun sistem logistik.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara masif juga berimplikasi positif terhadap indeks efisiensi logistik, terlihat dari meningkatnya peringkat Logistics Performance Index (LPI) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Selama dua tahun terakhir, Indonesia naik 17 peringkat, dari posisi 63 pada 2016 menjadi urutan 46 pada 2018.
Praktisi pelayaran internasional Asmari Heri Prayitno menyatakan, ongkos logistik tinggi itu tidak hanya menjadi urusan laut. “Kalau yang di laut freight-nya sudah mepet. Misalnya freight ke Shanghai China lebih rendah dari biaya THC yang dibyarkan pelayaran ke Pelindo. Jadi ini bukan soal sisi lautnya, tapi ongkos/biaya secera keseluruhan dari point ke point, tapi paling gampang memang yang dicecar atau yang diisukan hanya angkutan lautnya,” katanya saat dimintai tanggapannya. (***)