Komisi V DPR RI berharap operator pelabuhan-pelayaran dan cargo owners berkumpul untuk membicarakan mengenai cost logistic ‘murah’ yang menjadi keinginan Presiden Jokowi agar kedepan Indonesia mapu berdaya saing disektor logistic nasional.
“Berapa sebenarnya idealnya untuk tariff kepelabuhanan, berapa freight angkutan lautnya, dan berapa yang seharusnya dibayar oleh pemilik barang. Setelah ketiganya sepakat dan menemukan angka kesepakatan, kemudian baru memikirkan pihak bnerikutnya, seperti penyedia jasa JPT (forwarder),s erta PBM dan yang lain, sehingga cost yang ada tidak sangat tinggi,” kata Yoseph Umarhadi, anggota Komisi V DPR RI kepada Ocean Week, disela rapat kerja dengan Menhub Budi Karya Sumadi, di Gedung DPR RI, Jakarta, kemarin.
Yoseph juga berharap, semua mesti saling mendukung, jangan sampai pihak satu dengan lain saling berusaha mematikan. “Misalnya operator terus berpikir menaikkan tarifnya, sementara layanan tidak dibarengi, begitu pula dengan pelayaran, sehingga cargo owners yang membayar semua ongkos juga tidak dirugikan,” ujar Yoseph.
Namun, ungkapnya, perlu juga dipikirkan pihak lain seperti usaha JTP (forwarder), trucking dan lainnya yang berada diantara ketiga komponen tadi. “Mereka ini juga mesti terbuka berapa sebenarnya yang didapatnya, sebab ongkos pelayaran sudah jelas, biaya pelabuhan pun diketahui juga, tetapi banyak orang yang belum mengetahui berapa sebenarnya biaya jasa forwarder atau logistic,” ucapnya lagi.
Harapan serupa pun diungkapkan Dirut PT Gurita Lintas Samudera H. Soenarto. “Ada baiknya operator pelabuhan, pelayaran dan cargo owner kumpul, sehingga tidak terjadi saling tuding dan saling curiga. Sebab selama ini orang curiga pelayaran yang ongkosnya mahal, sebaliknya ada pula yang bilang biaya pelabuhan tinggi, jadi pemilik barang bingung. Padahal diantara yang tadi ada yang ditengah-tengah yakni para JPT. Berapa ongkos mereka semua tidak tahu,” ungkap Sunarto kepada Ocean Week.
Seperti diketahui Logistics Performance Index (LPI) atau Indeks Logistik Indonesia tahun 2016 menurun dari peringkat 53 dengan skor 3,08 tahun 2014 menjadi 63 dengan skor 2,98 tahun 2016.
“Bagaimana Indonesia dapat berdaya saing jika biaya logistic masih tinggi,” ujar Soenarto maupun Yoseph. (***)