Pada era liberalisasi perdagangan ASEAN Economic Community, setiap negara berusaha membenahi kapabilitas industri pelayarannya. Karena tak semua negara-negara ASEAN mempunyai industri pelayaran dengan daya saing yang tinggi seperti Singapura dan Malaysia.
Namun, beberapa negara menunjukkan progresivitas yang menonjol seperti Thailand, Indonesia dan Filipina. Sedangkan beberapa negara ASEAN yang lain masih mengalami stagnan pada industri pelayarannya.
Melihat kondisi tersebut, integrasi ekonomi yang dilakukan oleh ASEAN harus lebih dari sekedar harmonisasi standar professional yang akan diadopsi pada industri pelayaran di ASEAN. Untuk menghadapi beberapa tantangan, pemerintah Indonesia mulai memperhatikan prospek pasar maritim di wilayah perdagangan intra-ASEAN maupun perdagangan domestik. Salah satu kebijakan strategis adalah Tol Laut. Implementasi dari kebijakan Tol Laut memang lebih besar dialokasikan untuk perdagangan jasa pelayaran domestik, mulai dari infrastruktur, pengaturan birokrasi, evaluasi konsep rute pelayaran, dan pengadaan insentif untuk peralatan dan pengadaan kapal. Enam rute sudah dilaksanakan, dan tahun 2017 pemerintah (Kemenhub) berencana menambah 7 rute lagi sehingga total menjadi 13 rute tol laut.
Namun pada sisi operasional, Indonesia membutuhkan alokasi kebijakan yang intens pada tenaga kerja maupun tenaga ahli di bidang maritim. Dan Presiden Jokowi cukup konsen dengan hal ini, bahkan pelatihan untuk tenaga kelautan ini sudah mulai digulirkan melalui kerjasama antara DPP INSA dengan BPSDM Kemenhub di Kantor INSA Tanah Abang, Jakpus beebrapa waktu lalu. Konon dari sekitar 17 ribu kapal anggota INSA, dapat menampung sekitar 60 ribu tenaga yang akan dilatih.
Sumber daya manusia merupakan peran yang vital untuk pemasokan pendapatan nasional di bidang maritim. Dengan membandingkan tantangan dan peluang, Indonesia masih dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal tersebut dapat ditinjau dari peluang yang dimaksimalkan oleh pemerintah Indonesia melalui beberapa kebijakan, yang salah satunya adalah Tol Laut itu. Kebijakan tersebut memang membutuhkan alokasi anggaran dan pengawalan yang besar. Jika ditinjau dari prospek pasar intra-ASEAN dan domestik yang meningkat setiap tahunnya, hal tersebut akan menjadi keuntungan bagi Indonesia apabila dapat mencapai target dari kebijakan-kebijakan yang telah diupayakan tersebut.
Sekarang yang penting bagi Indonesia adalah bagaimana dapat menurunkan cost logistic, sebab Indonesia masih dianggap mahal dibandingkan dengan Negara-negara luar. Sayangnya upaya menekan biaya logistic itu masih sulit terlaksana, mengingat banyaknya komponen kepentingan dalam hal ini.
Padahal Presiden Jokowi terus mendengungkan agar logistic murah dapat tercapai, sehingga disparitas harga di berbagai wilayah di Tanah Air ini dapat ditekan. Tol laut sebagai salah satu program andalan tampaknya juga masih belum seluruhnya berhasil mengatasi masalah tersebut.
Ada beberapa catatan yang disampaikan DR. Umar Aris (Staf Ahli Menhub), pada waktu menjadi nara sumber di Forum, INSA 2017 di Makassar belum lamai ini. Menurut Umar Aris upaya untuk menekan biaya logistic dapat dilakukan dengan cara antara lain, adanya volume muatan saat berangkat maupun kembali dan keseimbangan jumlahnya, sehingga dapat menekan unit cost dan biaya depo container kosong ke pelabuhan asal. Contoh untuk muatan dengan container dari Belawan ke Jakarta hanya sekitar 42% dari muatan Jakarta ke Belawan dan dari Makassar ke Surabaya hanya sekitar 48 % dari muatan Surabaya – Makassar. Karena itu sangatlah penting melakukan pemerataan pengembangan industry di luar Jawa melalui pengembangan koridor-Koridor ekonomi.
Selain itu, kata mantan Kabiro Hukum Kemenhub itu, waktu menunggu sandar dan waktu menunggu bongkar muat–terkait kemampuan prasarana, sarana dan kualitas pelayanan Pelabuhan perlu diperhatikan, sehingga mengurangi efisiensi operasional kapal.
Meningkatkan kinerja dan produktivitas serta mengembangkan fasilitas dan peralatan pelabuhan. Dicontohkan untuk angkutan container Jakarta–Belawan–Jakarta sekitar 60% dari biaya pengiriman adalah merupakan biaya di pelabuhan, dan untuk rute Surabaya – Makassar-Surabaya sekitar 57%.
Untuk itu, peningkatan efisiensi, penerapan IT dan pengembangan fasilitas dan peralatan pelabuhan agar biaya pelabuhan bias lebih rendah juga perlu dilakukan.
“Menurut studi McKinsey bahwa dengan kombinasi ukuran & trayek kapal yang tepat, maka perpaduan antara pola pendulum & hub-spoke dapat menurunkan ongkos kirim laut hampir 50%,” kata Umar.
Anehnya, kata Carmelita Hartoto, Ketua Umum DPP INSA, meski ongkos angkut pelayaran sudah diturunkan hingga 30%, namun harga barang masih saja tinggi. Dan itu dibenarkan Koordinator ALFI Papua & NTT Moh. Coya, serta Koordinator ALFI se-Sumatera Khairul Mahali. “Kami juga heran kenapa harga masih mahal, tapi kalau barang yang dekat pelabuhan sudah ada penurunan, dan tak jauh beda dengan di pulau Jawa,” ungkap keduanya.
Visi Logistik
Sebagaimana diketahui bahwa visi logistic Indonesia 2025 dalam Perpres 26/2012 tentang cetak biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, salah satunya adalah ingin mewujudkan system logistic yang terintegrasi secara local, terhubung secara global untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan rakyat (locally integrated, globally connected for national competitiveness and social welfare).
Pelabuhan hub internasional Indonesia terkonek dengan pelabuhan-pelabuhan local yang diproteksi asas cabotage. Lalu koneksi secara global membentuk jaringan dengan hub internastional Afrika, pelabuhan Eropa, Asia, Amerika dan Australia.
Untuk dapat mewujudkan harapan itu, kita pun perlu menyiapkan kapal-kapal Indonesia, mengingat potensi barang republic ini sangat besar. Tapi, data mencatat, mayoritas ukuran kapal container di Indonesia 350-800 TEUs lebih kecil dibandingkan Negara lain yang berukuran diatas 1000 TEUs. Dengan kapal kecil untuk angkutan kontaner domestic menyebabkan biaya per TEUs menjadi lebih mahal dibandingkan degan kapal besar.
Dengan space kapal yang lebih besar, dipastikan ongkos logistic dapat murah. Sebagai perbandingan biaya transportasi laut setiap container, misalnya Tanjug Priok tujuan Guangzhou hanya dengan US$ 400. Sementara Tanjung Priok-Singapura US$ 185, Tanjung Priok-Jayapura US$ 1000, Tanjung Priok-Banjarmasin US$ 650, dan Tanjung Priok-Padang tarifnya US$ 600. Pertanyaannya kenapa bisa begitu?.
Benarkah dengan semakin besar kapal semakin rendah biaya angkut per container, misalnya dengan kapal 6000 TEUs dapat menurunkan biaya angkut menjadi 54,5% dibandingkan dengan biaya angkut kapal 2500 TEUs.
Namun untuk dapat disinggahi kapal-kapal ukuran besar itu, pelabuhan harus memiliki kedalaman sebagai berikut. Untuk kapal panjang 135-200 meter perlu draft -9 muatan 500 TEUs, 215 meter muatan 1000 draft 10, 250 m draft 11-12 m muatan 3000-4000, 275 m muatan 4000-5000 TEUs draft 11-13 m, panjang 335 m muatan 5000-8000 TEUs draft 13-14 m, panjang 397 m muatan 11.000 TEUs draft 15,5 .
Akibat minimnya perusahaan pelayaran Indonesia sebagai pengangkut barang impor dari Negara asal mengakibatkan transaksi impor ke Indonesia syarat pembayarannya mayoritas menggunakan skema CFR (cost and freight) atau CIF (cost, insurance and freight) yaitu sistem pembelian barang dimana biaya pengiriman, asuransi, dan harga barang dibayarkan sebelum kapal berangkat/ di pelabuhan muat.
Bila ekspor, armada pelayaran di Indonesia tidak ada yang direct ke Negara tujuan dan mayoritas kapal yang beroperasi di Indonesia adalah feeder dengan tujuan Singapura atau Malaysia sehingga pengusaha Indonesia menggunakan system FOB (free on board) yaitu system pembaleian barang dimana semua biaya pengiriman atau O/F, asuransi, dan harga barang dibayarkan setelah kapal sampai atau di pelabuhan bongkar.
Kondisi ini menyebabkam deficit transaksi jasa dalam Negara pembayaran Indonesia (NPI). Di kuartal II 2016 defisits sekitar US$ 4,7 miliar atau 2% dari produk domestic bruto (PDB).
Oleh karena itu, urgensi peningkatan pangsa muatan angkutan luar negeri menggunakan armada nasional atau implementasi asas beyond cabotage perlu segera direalisasikan, diantaranya melalui perubahan term of trade dan pengembangan pelabuhan hub internasional.
Program Tol Laut dan keinginan menjadi Indonesia Poros Maritim Dunia, tampaknya masih jauh dari harapan, dan jika pemerintah Indonesia belum satu pikir, satu pendapat, satu kemauan membulatkan tekad semua pihak untuk cita-cita itu, mustahil Indonesia Poros Maritim Dunia terealisasi. (ocean week)