Membicarakan pelayaran nasional, sampai saat ini memang banyak problem yang dihadapi. Bagaimana dukungan perbankan yang dirasa masih setengah hati, regulasi yang terkadang tumpang tindih antara pusat dan daerah, lalu bagaimana harga BBM yang terus naik tinggi sehingga operasional membengkak, dan sebagainya.
Belum lagi pandemi covid-19 semala 2 tahunan ini yang memberi kontribusi keterpurukan terhadap sektor pelayaran ini.
Namun, apa dan bagaimana masalah yang sebenarnya dialami usaha pelayaran ini, Ocean Week (OW) berhasil menginterview Capt Zaenal A. Hasibuan (ZAH), fungsionaris DPP INSA yang juga pengusaha pelayaran, berikut petikannya.
OW : Apa kabar Capt Zaenal, sehat ya ?
ZAH : Alhamdulillah berkat doa temen-temen, sehat.
OW : Lagi sibuk ya ?
ZAH : yah..bersyukur masih ada yang dikerjakan.
OW : Katanya banyak ya masalah yang belum diberesin di sektor pelayaran ?
ZAH : Masih banyak PR dibidang pelayaran niaga Indonesia. Saya mencatat beberapa masalah, misalnya Coast Guard yang tidak terbentuk dari (amanah UU 17). Lalu NCVS tidak ada kemajuan, hanya pencitraan kepada dunia luar. Kapal dibawah 500 GT dan atau kapal yang berlayar lokal dibebani aturan lebih berat dari requirement IMO.
OW : Selain itu ?
ZAH : Ada juga Pelaut tidak terurus dan masuk kedalam golongan pekerja migran. Undang Undang Perlindungan Pelaut masih belum ada. Sertifikasi pelaut masih sama (over qualified), sementara kualitas dan remunerasinya tidak sepadan. Kemudian Maritime Court sebagai pengganti Mahkamah Pelayaran harus dibentuk agar Independen.
OW : bagaimana dengan dukungan perbankan ?
ZAH : Support perbankan untuk pendanaan pembelian dan pembuatan kapal tidak berubah, tetap sulit. Tidak ada solusi dari pemerintah apakah perbankan nasional mampu atau membolehkan perbankan asing membantu. Masalah lain yakni lesunya Industri Galangan Kapal Nasional karena Pemerintah melonggarkan aturan impor kapal bekas. Kemana larinya para ahli perkapalan dari perguruan tinggi ?. Kemudian data kecelakaan kapal tidak transparan dan tidak menurun, kampanye bersifat sesaat (terakhir si Bombang).
OW : Apa lagi ?
ZAH : yah..soal pemasangan AIS type B di kapal Non Solas tidak meningkatkan aspek keselamatan. Pelaut malah lebih sibuk dengan AIS ketimbang Radar, Magnetik Kompas, Echo Sounder, Koreksi peta dan hal wajib lainnya. Lalu kapal Indonesia over regulated, berakibat terlalu banyak sertifikat dan peluang pungli. TSS Selat Lombok dan Selat Sunda belum terlihat dampak ekonomisnya. Lalu, kewajiban Asuransi bagi kapal diatas 35 GT masih tidak konsisten. Dan biaya Logistik nasional dalam 10 tahun terakhir tidak pernah turun dibawah angka 23%.

OW : anda melihat apa sebenarnya yang diamanahkan dalam UU 17/2008 ?
ZAH : Sebagai sarana pemersatu bangsa dalam aspek ekonomi, budaya, sosial dan kedaulatan di perairan Indonesia, keberadaan kapal akan selalu menjadi kebutuhan Indonesia sampai akhir jaman. Untuk itulah pemerintah membuatkan aturan yang menjadi amanah Kementerian Perhubungan cq Ditjen Hubla untuk memajukan industri pelayaran dan galangan kapalnya. Hal ini jelas tercantum didalam pasal 56 dan 57 Undang Undang nomor 17 tahun 2008 yang berbunyi;
Pasal 56, Pemberdayaan Industri Angkutan Perairan Nasional, Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait. Lalu Pasal 57, yakni (1) Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan Memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan. Seterusnya lihat di UU 17/2008 pasal 57. Ketahanan ekonomi nasional dan kemandirian negara dalam berniaga secara internasional sangat bergantung pada keberadaan kapal-kapal Indonesia. Penambahan armada kapal nasional yang didukung pembiayaan dan perpajakan nasional diharapkan akan menumbuhkan kekuatan galangan kapal nasional dan secara langsung akan sangat berperan dalam mengembangkan jiwa bahari anak bangsa.
OW : jadi apa menurut anda mengenai pelayaran dan perbankan nasional untuk sektor pelayaran ?
ZAH : Setiap kapal memiliki kewajiban finansial yang sama menurut prioritasnya, kewajiban tersebut adalah sebagai berikut, Pengembalian pinjaman, Bunga bank, Biaya sertifikat dan dokumen, Biaya consumables, Gaji Crew, Asuransi, Biaya perawatan kapal, Tabungan biaya docking, Biaya overhead, Margin keuntungan. Mengacu kepada hal diatas, kita bisa lihat bahwa urusan perbankan adalah prioritas utama. Pendeknya jangka kredit dan tingginya bunga bank tentu akan secara langsung mempengaruhi kekuatan finansial kapal di sektor lainnya. Apalagi jika di suatu negara urusan sertifikat dan dokumennya masih berbelit dan berbiaya mahal, maka bisa dipastikan kapal tumbuh didalam atmosfer yang kurang sehat dan akan menjadi kerdil ukurannya. Di Indonesia, harga consumable bahkan masih lebih mahal dari negara tetangga kita, karena dikenai PPN dan PBBKB sehingga harga didalam negeri lebih mahal sekitar 15% dari negara lain.
OW : lalu ?
ZAH ; Tanpa menjelaskan secara detail, kita bisa tahu kenapa kapal Indonesia tidak mampu bersaing dengan kapal asing dalam menawarkan freight intenasional. Jika Jepang memberikan bunga kedit dibawah angka 1% (nol koma), dan negara tetangga lain memberikan bunga pinjaman kepada perusahaan pelayaran mereka diangka 3%, sangat berat bagi kapal Indonesia untuk bisa tumbuh di regional apalagi jalur internasional jika perbankan kita masih memberikan bunga diatas 10%. Ditambah lagi dengan pendeknya jangka kredit perbankan Indonesia. Siapa kuat bersaing?.
OW : bagaimana solusinya ?
ZAH : Apakah ada solusi dari masalah pembiayaan dan perpajakan kapal nasional agar kita bisa tumbuh menjadi negara yang independen berniaga keluar negeri seperti Iran misalnya yang walaupun di embargo Amerika tetap saja bisa menjual minyaknya karena memiliki armada nasional yang kuat. Kementerian Perhubungan cq Hubla yang sudah diamanahkan oleh UU 17 untuk melakukan pemberdayaan industri angkutan perairan semestinya berani meyakinkan pemerintah bahwa solusi untuk pendanaan adalah dengan menggolongkan kapal kedalam kredit infrastruktur Indonesia. Agar perbankan mendapat legal standing untuk memberikan kredit jangka panjang dengan bunga khusus yang bertujuan memajukan ekonomi Indonesia termasuk menyelamatkan defisit neraca berjalan yang setahunnya bisa ada di angka 100 triliun. Silahkan negara lain memiliki definisi kata infrastruktur sendiri, Indonesia adalah negara kepulauan yang tidak akan hidup tanpa kapal. Jika jembatan yang menghubungkan puluhan meter daratan saja disebut infrastruktur, mengapa kapal yang menghubungkan ratusan ribu meter daratan tidak bisa digolongkan kedalam kategori infrastruktur? Let us think out of the box.
OW : kenapa perbankan asing sulit untuk pendanaan ke kapal RI ?
ZAH : Selama pemerintah belum membuat aturan turunan dari konvensi The International Convention on Arrest of ship maka sulit berharap perbankan asing memberikan kepercayaan kepada kapal berbendera Indonesia. Sampai hari ini sejak digulirkannya Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, tidak ada kelanjutan dari usaha pemerintah untuk masalah tersebut. Walaupun UU 17 tahun 2008 juga memasukkan hal tersebut kedalam pasalnya, tetapi tetap saja tidak ada aturan turunan dari niatan baik presiden tersebut. Sekelas Pertamina saja yang baru-baru ini membeli kapal tanker raksasa Pertamina Prime dan Pertamina Pride lewat pendanaan konsorsium Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), bank dengan Bank Mandiri dan Bank BNI harus mendaftarkan kapalnya dengan bendera Singapura. Tentu ini tidak menambah jumlah kapal Indonesia secara hukum dan status walaupun kegunaan dan kepemilikannya (peminjam dana) adalah perusahaan negara. Mengapa kapal tersebut tidak di daftarkan sebagai kapal Indonesia dengan bendera Indonesia dan Awak kapal Indonesia?.
OW : kenapa hal itu bisa terjadi ?
ZAH : Mari kita lihat lebih jauh permasalahan umum pembiayaan kapal Indonesia melalui perbankan asing. Kita coba ulas arti kata arrest of ship (penahanan kapal) dari konvensi tersebut agar memberikan gambaran jelas maksud dari konvensi tersebut. Ship arrest; penahanan atau pembatasan pemindahan kapal atas perintah pengadilan untuk mengamankan klaim maritim, tetapi tidak termasuk penyitaan kapal dalam pelaksanaan atau pemenuhan keputusan atau instrumen lain yang dapat dipaksakan.
OW : maksudnya ?
ZAH : Klaim yang umum dijadikan dasar permohonan penahanan kapal oleh pemerintah (disebut; contracting state) setempat adalah, 1. Tidak dibayarnya gaji crew oleh pemilik, 2. Tindakan gagal membayar pinjaman perbankan, 3. Klaim atas pembayaran perbaikan kapal, 4. Klaim atas pembayaran biaya salvage, 5. Klaim atas kerugian termasuk cedera akibat pekerjaan/ kecelakaan diatas kapal, 6. Klaim atas General Average, dll. Harus dipahami bahwa ship arrest adalah kegiatan bersifat in rem dimana maksud dari penahanan tersebut adalah untuk mencegah asset milik pihak yang di klaim dipindahkan ke tempat lain atau ke negara lain. Jadi kapal disini dipakai sebagai jaminan agar pihak yang digugat hadir di pengadilan untuk menyelesaikan kewajibannya. Selama kapal ditahan tentu pemilik tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari pengoperasian kapalnya.
OW : jadi itu yang dikhawatirkan ya ?
ZAH : Kekhawatiran perbankan asing dalam memberikan pinjaman kepada kapal berbendera Indonesia adalah apabila kapal tersebut gagal bayar kewajiban perbankan dan ada di Indonesia, maka tidak ada mekanisme yang bisa digunakan perbankan asing untuk menahan kapalnya dan meminta pemilik kapal untuk melaksanakan kewajibannya.
OW : bagaimana dukungan INSA ?
ZAH : Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia (DPP INSA) sendiri sudah berulang kali meminta pemerintah untuk membuat aturan turunan dari Konvensi ini, tentu dengan maksud agar pertumbuhan kapal di Indonesia beserta industri galangan kapal akan membaik. Pemerintah cukup mengambil salah satu langkah yang disebutkan diatas, apabila ingin memecah kebuntuan perkembangan industri pelayaran Indonesia. Efek dari perbaikan sektor pendanaan kapal akan sangat signifikan, apalagi dibarengi dengan trasnparansi biaya sertifikat kapal dan dicabutnya pajak BBM kapal. Hal yang paling mencolok adalah akan bertambahnya kesejahteraan awak kapal diatas kapal-kapal berbendera Indonesia. Walau tidak serta merta menjadikan kapal Indonesia mampu bersaing head to head dengan raksasa pelayaran dunia, tapi langkah awal menuju kesana harus segera dimulai sebelum kita ditinggalkan kapal-kapal asing hanya karena isu sentimen dari pesaing Indonesia untuk produk ekspor yang sama. Apalagi sampai kena embargo dari dunia internasional seperti yang dialami Iran. Jangan sampai terjadi seperti pepatah tikus mati di lumbung padi. (***)