Berakhirnya kontrak Freeport pada 2021 nanti tidak serta merta pemerintah RI dapat langsung mengambil alih pertambangan. Karena, dalam kontrak karya dinyatakan, pasca kontrak berakhir maka semua aset Freeport ditawarkan untuk dijual ke pemerintah dalam jangka waktu 30 hari. Bila pemerintah mau membeli aset tersebut, maka dalam jangka waktu 90 hari sudah harus dibayar.
Namun, jika pemerintah tidak mau membeli, Freeport dapat menjual atau mengalihkan atau menyingkirkan aset tersebut dalam jangka waktu 12 bulan sejak penawaran kepada pemerintah.
“Bila tetap tidak terjual, teralih atau tersingkirkan, maka aset tersebut menjadi milik pemerintah. Ini yang harus dipersiapkan pemerintah dengan matang,” kata Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan kepada pers di Jakarta.
Seperti diketahui bahwa beberapa waktu lalu, Freeport sempat menggegerkan Indonesia dengan kasus Setya Novanto (ketua DPR RI) yang dikenal dengan ‘Papa Minta Saham’. Akibat kasus ini, Setya Novanto sempat terlengser dari kursi ketua DPR RI. Namun karena tak terbukti, akhirnya dapat kembali menduduki kursi ketua kembali.
Permintaan PT Freeport Indonesia (PTFI) agar kontraknya diperpanjang di tengah carut-marut masalah hilirisasi, dinilai bermuatan politis. Pemerintah diminta tidak lemah menghadapi tekanan perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, tuntutan Freeport meminta perpanjangan kontrak dengan alasan untuk pembangunan smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang) hanya untuk menekan pemerintah. Selama ini perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut kurang serius membangun smelter.
“Smelter itu kan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Minerba. Kalau menuntut perpajangan (dengan alasan smelter), itu tujuannya menekan,” kata Marwan.
Marwan meminta, pemerintah tidak mengalah dengan tuntutan tersebut.Bahkan, harus berani bersikap tegas. Karena, pembangunan smelter merupakan kewajiban yang harus dilakukan semua perusahaan tambang. Kemudian, soal perpanjangan, hal ini kewenangan penuh pemerintah.
“Kita tidak bisa diremehkan. Badan usaha Milik Negara (BUMN) Seperti Inalum dan Antam, sudah memiliki kemampuan mengelola pertambangan sendiri,” kata Marwan.
Namun demikian, Marwan tidak mempersoalkan bila pemerintah mau kembali menggandeng Freeport mengelola tambang emas di Timika, Papua, pasca masa kontraknya habis. Menurutnya, win-win solution memang harus dilakukan. Hanya saja, kontrak baru, pengendalian sepenuhnya dilakukan pemerintah.
“Saya kira tidak masalah Freeport diperpanjang untuk kebaikan bersama. Asalkan, Freeport mau bangun smelter dan menyerahkan mayoritas sahamnya ke pemerintah. Kalau mereka tidak mau, ya sudah tidak usah diperpanjang kan keputusan di tangan kita,” ungkapnya.
Dia menyebutkan selama ini posisi Indonesia kurang diuntungkan. Hampir setengah abad PTFI kelola tambang di Timika, pemerintah hanya memiliki saham sebesar 9,3 persen. Sementara Freeport 81,28 persen.
Soal rencana perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat, Marwan mengaku dirinya inginkan rencana itu tidak dilakukan. Tapi, jika akhirnya pun terpaksa dilakukan, syarat ekspor harus diperketat dan harus dipastikan tidak merugikan kepastian usaha untuk investor yang sudah membangun smelter.
Pertanyaannya, yakinkah pemeritah bisa mengelola sendiri tambang emas di Timika bila tidak ingin lagi memperpanjang kontrak Freeport.
Jawabnya, pemerintah bisa melakukannya seperti pola-pola saat mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam. Pemerintah harus mengambil keputusan sebelum kontrak Freeport habis pada 2021. Tujuannya agar kedua belah pihak memiliki masa transisi. Merujuk pengelolaan Blok Mahakam, pemerintah memutuskan tidak memperpanjang kontrak PTInpex dan Total E& P dalam mengelola Blok Mahakam dua tahun sebelum masa kontraknya habis pada 2017.
Seperti Blok Mahakam, pemerintah bisa mengajak Freeport jika mereka masih tertarik. Total E&P Indonesie dan Inpex tetap dibolehkan membeli 30 persen saham Blok Mahakam.
Sementara itu, Sunarto (Direktur Utama PT Gurita Lintas Samudera) yang selama beberapa tahun memperoleh kontrak sebagai pengangkut hasil tambang dari Papua-Gresik menyatakan bahwa selama ini pihaknya dengan Freeport tidak pernah ada masalah. Bahkan Freeport dinilainya Sunarto sangat professional. “Mereka (Freeport-red) sangat memperhatikan kinerja mitra kerjanya. Ada dua kapal milik Gurita Lintas yang dikontrak untuk angkut hasil tambang dari Papua Irian ke Gresik,” ungkapnya. (***)