Para pebisnis Perusahaan bongkar muat (PBM) di Indonesia sedang resah, bukan karena aktivitasnya yang lesu, namun disebabkan Permenhub 152/2016 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang Dari dan ke Kapal yang memberi celah BUP PT Pelindo dapat mengerjakan kegiatan bongkar muat tanpa harus memiliki ijin badan hukum Indonesia untuk itu.
Sekarang, Permenhub 152/2016 itu sedang digugat oleh salah satu PBM dari Jawa Timur ke Mahkamah Agug untuk uji materi.
Padahal, dari audiensi APBMI (organisasi para PBM) ke Pelindo I, III, dan IV, kata Ketua Umum DPP APBMI, HM Fuadi, inginnya ada kerjasama dengan Pelindo untuk penanganan bongkar muat di pelabuhan.
Konsep yang ditawarkan APBMI antara lain, PBM yang ada di masing-masing pelabuhan yang dikelola PT Pelindo tetap dapat bekerja berdasarkan penunjukan dari pemilik barang/perusahaan pelayaran dan membayar sharing kepada Pelindo yang besarannya disepakati bersama antara APBMI dengan Pelindo setempat.
“Kalau kita bandingkan dengan sistem di Westport Malaysia maupun Jurong port Singapura dengan di sejumlah pelabuhan di Indonesia memang sedikit beda,” kata Fuadi kepada Ocean Week, di Jakarta.
Di Westport, ujar CEO Tubagus Grup ini, port operator tidak melakukan kegiatan bongkar muat. “Disana PBM yang beroperasi di terminal curah hanya dua PBM,” katanya lagi.
Port operator hanya menyediakan infrastruktur dasar seperti tanah, kemudian disewa oleh PBM. Lalu service yang dilaksanakan PBM dibayar oleh port operator melalui tarif yang sudah ditentukan port operator.
“Untuk buruh (TKBM) dibawah tanggungjawab penuh PBM, termasuk fasilitas dan peralatan bongkar muat semua menjadi investasi PBM. Tak ada serikat pekerja khusus yang menaungi buruh. Tidak seperti disini banyak serikat pekerja,” ungkap Fuadi.
Port operator di Westport, jelasnya, memiliki kontrol penuh terhadap kinerja buruh, sementara PBM bertanggungjawab mempertahankan kinerja melalui training, pengarahan dan lain-lain. “Kontrak kerja antara PBM dan port operator maksimum 5 tahun, dapat diperpanjang sesuai kinerja PBM,” ucapnya.
Sementara itu di Jurong Port, cerita Fuadi, port operator diperbolehkan melakukan kegiatan bongkar muat, itu sesuai undang-undang. Namun Jurong port memilih tidak melakukan aktifitas itu. “Operator memilih bermitra dengan PBM, tetapi mitra PBM yang dapat bekerja adalah yang memiliki license yang diterbitkan oleh port operator,” ujarnya.
Di Jurong, ada 18 PBM yang beroperasi untuk kegiatan general kargo dan 5 PBM lagi untuk barang curah. Port operator melakukan review terhadap kinerja setiap bulan. Terhadap PBM yang tidak memenuhi standar akan disuspend operasinya.
PBM hanya membayar biaya license tahunan serta tak ada tagihan lain. “Kontarak kerja dan license akan direview setiap dua tahun,” kata Fuadi.
Seperti di West port, di Jurong pun tak ada serikat pekerja. Semua buruh menjadi tanggungjawab PBM. Namun ketika PBM kekurangan buruh, Jurong port akan membantu menyiapkan buruh denan sistem bagi hasil. “Fasilitas bongkar muat juga menjadi investasi PBM, namun untuk beberapa peralatan bongkar muat yang mahal seperti ship unloader menjadi investasi Jurong dengan skema kerja bagi hasil,” kata Fuadi.
Apakah sistem itu juga bisa digunakan untuk pelabuhan di Indonesia. “Kami sudah mencoba untuk menawarkan kerjasama dengan PT Pelindo, tentunya dengan sistem yang disepakati kedua belah pihak. Prinsipnya kami (PBM) yang kerja, PT Pelindo terima kontribusi, berapa besarannya yang tergantung kesepakatannya,” ungkap Fuadi mengakhiri ceritanya. (***)