Bisnis kapal penunjang kegiatan offshore diprediksi masih belum merangkak naik di tahun 2017, pasalnya harga minyak dunia yang masih pada kisaran US$ 50 per barel, belum mampu mendongkrak sector usaha kapal offshore.
“Kalau harga minyak dunia masih dikisaran US$ 50 per barel, sedangkan ongkos operasional kami (kapal penunjang kegiatan migas) mencapai 40%, bagaimana kami mampu menutupi itu. Kalau kondisinya masih seperti itu, mungkinkah bisnis kapal offshore bangkit di 2017,” ungkap Nico dari PT Sudjaca, dibenarkan direktur operasi PT Mega Maroci Lines Sentot, dan direktur PT Sandi Adi Perkasa Harsono Tjeng kepada Ocean Week, di Jakarta.
Menurut meraka, bukan saja harga minyak dunia yang belum mampu mendongkrak kinerja usaha sector ini, namun juga adanya sekitar 25 perijinan pada sisi migas yang menjadikan bisnis ini sekarang menjadi melamban, bahkan stagnan.
“Itu juga cukup mengganggu, karena untuk memenuhi 25 ijin perlu waktu panjang, ijin pertama selesai, bisa jadi saat mengurus ijin yang nomor 25, yang pertama tadi sudah habis massanya dan mengulang ijin lagi,” katanya.
Karena itu, mereka pesimis bisnis ini akan merangkak naik di tahun 2017. “Masih sama seperti tahun 2016, meski sudah ada beberapa upaya dari pemerintah (kementerian ESDM), namun tetap saja tak mampu mendongkrak,” ungkapnya.
Sementara itu President Director PT Logindo Sukses Makmur Eddy K. Logam juga menyatakan sepinya kegiatan minyak dan gas (Migas) di lepas pantai dalam negeri dikarenakan turunnya harga minyak yang mencapai kisaran US$ 40 per barel. “Makanya semua pemain di industry Migas dalam negeri lebih memilih impor daripada mencari cadangan baru,” ujarnya.
Mereka mengakui akibat sepinya kegiatan migas offshore, mayoritas 50% kapal pendukung industry ini lego jangkar, dan itu sudah berlangsung berbulan-bulan.
Kondisi tersebut juga dirasakan Director PT Pan Maritime Prawitra Nova. Y Mugijanto. “Selama harga minyak dunia anjlok, utilisasi kapal turun antara 30-40%,” ucapnya.
Padahal kebutuhan minyak dalam negeri sekitar 1,5 juta barel, dan Indonesia baru mampu menyediakan separuhnya, sisanya impor.
Namun, Nova mengaku sedikit optimis dengan mulai berjalannya sejumlah proyek BP Tangguh, ENI dan Husky.
“Dengan sinyal itu kami merasa sector offshore memiliki harapan kembali. Apalagi menteri dan wakil menteri ESDM sekarang ingin proyek-proyek Migas jalan,” kata Nova.
Ocean Week mencatat bahwa pemerintah akan memprioritaskan 10 proyek strategis di sektor minyak dan gas bumi. Kesepuluh proyek strategis tersebut terdiri dari Blok East Natuna, Blok Mahakam, proyek laut dalam atau Indonesian Deepwater Development, Lapangan Jangkrik. Selain itu, juga dibahas revisi UU Migas, revisi Peraturan Pemerintah No. 79/2016 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Proyek lain yang menjadi prioritas adalah pipa gas West Natuna Transportation System (WNTS) ke Pulau Pemping, kilang baru, kilang mini, dan insentif untuk proyek migas di laut dalam. (***)
terimakasih, kami selalu menerima saran dan kritik untuk kepentingan bersama